Jumat, 08 Mei 2020

NILAI DAN BATAS KEBENARAN


I.          QS. 10 Yunus 35-36:


II.        Artinya:
“Katakanlah: “Apakah di antara sesembahan-sesembahanmu (yang kamu sembah) itu ada yang menunjukkan kepada kebenaran?” Katakanlah: “Allah-lah yang menunjukkan kepada kebenaran”. Maka apakah Dia yang menunjukkan kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali jika diberi petunjuk?” Maka mengapakah kamu (berbuat demikian?) Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti lain kecuali dugaan saja. Sesungguhnya dugaan itu tidak mencukupi kebenaran apa-apa. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa-apa yang mereka kerjakan” (S.10 Yunus 35-36)

III. Tafsir dan analisa
A.        Pengertian kata-kata
_______ (Syuraka’) kata-kata jamak dari “syarik” artinya teman dalam memiliki sesuatu. Syuraka’akum artinya ialah teman-temanmu, tetapi dalam ayat ini makna yang dimaksud ialah: Sesuatu yang dipertemankan/disejajarkan/ disamakan dengan Tuhan. Sesuai dengan S.7 Al-A’raf 195 atau S.10 Yunus 71 kata-kata “Syuraka” maknanya ialah berhala atau sesuatu yang disembahkan selain Allah.
_______ (Yahdi) merupakan kata kerja dari “Hidayah” artinya memberi hidayah, yaitu petunjuk secara halus.
_______ (Yahiddi) bunyi ini diperselisihkan oleh sebagian ahli qurra’ (ahli baca), yaitu Al Kassai dan Hamzah membacanya berbunyi “Yahdi” maka kata-kata ini diterangkan oleh An Nahhas bahwa lafal ini maksudnya ialah “Yahtadi” maknanya ialah: memperoleh hidayah. Ar Raghib lebih keras lagi mengartikan kata-kata “La-Yahiddi” itu persis seperti wataknya patung berhala walaupun diberi petunjuk bagaimanapun juga dia tidak bisa menerima petunjuk sebab memang dia batu.
Dan kata-kata “La yahiddi” tidak lepas dari terusannya “Illa an yuhda” sehingga artinya menjadi “Dia tidak dapat memberi petunjuk tetapi bahkan harus diberi petunjuk”.

B.        Tema dan kandungan ayat
Allah itu yang menciptakan makhluk dan kepada makhluk manusia Allah memberikan petunjuk (hidayah) mulai dari insting (misalnya bayi lahir langsung mencari tetek ibunya), lalu Allah memberi petunjuk berupa panca indra, kemudian akal untuk berpikir, selanjutnya budi untuk merenung, terakhir Allah memberi hidayah berupa wahyu (agama).
Coba tanyakanlah kepada orang-orang musyrik (politeis) penyembah berhala atau makhluk lain: “Apakah para berhala atau makhluk lain, hewan atau kuburan yang kamu sembah itu bisa memberikan petunjuk dan hidayah kepada kebenaran seperti halnya Allah telah memberi petunjuk-petunjuk tersebut?”
Tanyakan pula kepada mereka: “Ajaran siapa yang harus diikuti dan dipercaya, apakah Tuhan Dzat yang memberi petunjuk kepada kebenaran ataukah patung berhala dan kuburan atau makhluk halus yang kamu sembah itu yang tidak dapat memberi petunjuk tetapi memerlukan petunjuk bahkan jika diberi petunjuk diapun tidak dapat berbuat apa-apa?
Sesungguhnya lebih banyak orang yang hanya mengikuti dugaan-dugaan saja, padahal dugaan-dugaan itu belum cukup menjamin kebenaran, Allah Maha Mengetahui perbuatan manusia.

C.        Masalah dan analisa
Dari tema dan kandungan Al-Quran S.10 Yunus 35-36 diatas, timbul beberapa pertanyaan yang perlu direnungkan, yaitu sebagai berikut:
1.         Apakah yang disebut syirk dan siapakah orang yang musyrik itu?
2.         Apakah kebenaran itu dan bagaimanakah kategori serta batas-batas kebenarannya?
3.         Bagaimana kedudukan dan fungsi ilmu atau filsafat terhadap wahyu demikian juga bagaimana kedudukan dan fungsi wahyu terhadap ilmu atau filsafat?

Ketiga masalah ini perlu direnungkan lebih mendalam untuk lebih memantapkan keyakinan dan iman kita.

Ad.1. Persoalan syirk dan musyrik
Al-Quran S.10 Yunus 35-36 menyinggung soal syirik dengan kata-kata “Syuraka’” jamak dari “Syarik” (seperti tersebut di muka) artinya ialah sekutu atau teman. Tetapi untuk menafsirkannya harus dikaitkan dengan ayat-ayat lain, diantaranya ialah S.7 Al-A’raf 195, S.42 Syura 21, S. al-an’am 22 dan yang lain, sehingga kata “Syuraka” disitu artinya ialah berhala atau sesembahan-sesembahan yang disamakan/disejajarkan/disekutukan dengan Allah disembah dan disucikan.
Perbuatan menyamakan sesuatu sama dengan Allah disebut “Syirk”, dan orang yang menyamakan sesuatu sama dengan Allah disebut “Musyrik”.
Syirik itu dalam pandangan agama ada dua macam, yaitu Syirk Besar ialah menyembah selain Allah atau menyekutukan sesuatu dengan Allah sedangkan Syirk Ashghar (Syirk kecil) ialah menyamakan sesuatu dengan sebagian sifat-sifat Allah, misalnya seseorang berlaku sombong. Perbuatan sombong merupakan perbuatan syirk, sebab dia menyamakan dirinya dengan sifat Allah yang Maha Besar. Rasulullah Saw. sendiri telah menegaskan hal ini, seperti yang tersebut dalam hadis marfu’



Artinya:
“Tidak masuk surga siapa yang di dalam hatinya terdapat perasaan sombong walaupun seberat biji sawi” (Hadis dikutip oleh Ibnu Katsir j.5/391).

Ad.2. Kebenaran, kategori dan batas-batas kebenaran.
Manusia merupakan suatu makhluk pencari kebenaran, tetapi kebenaran yang bagaimanakah yang dicari dan yang diperoleh manusia itu?
Ada tiga teori tentang apa yang disebut dengan kebenaran, yaitu teori koherensi, korespondensi dan pragmatis.
Teori koherensi dikembangkan oleh Plato dan Aresto terutama dalam bidang ilmu ukur, bahwa sesuatu itu benar jika dia konsisten atau sesuai dengan apa yang diakui benar sebelum itu. Menurut Arestoteles kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan.
Teori korespondensi dikembangkan oleh K. Rogers seorang penganut faham realisme dan oleh Bertrand Russel bahwa sesuatu itu benar jika arti yang ada di dalamnya berhubungan dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu sendiri.
Teori pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce, John Dewey dan C.I. Lewis, bahwa sesuatu itu benar jika dia mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan.
Adapun nilai dan batas-batas kebenaran yang diterima oleh manusia oleh empat kategori, yaitu:
a.         Pengetahuan (Knowledge)
b.         Ilmu (Science)
c.         Filsafat
d.         Wahyu

a.         Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan ialah sesuatu yang diketahui oleh seseorang yang diperolehnya melalui panca indra, melalui mata, telinga, hidung, lidah atau kulit.
Nilai dan batas kebenarannya sangat tergantung pada alat indera tersebut dan kesempurnaan kerjanya, jika alat indra tersebut dalam kondisi kesehatan yang sempurna dan bekerja dengan sempurna pula maka hasil pencerapan indra itu akan lebih menjamin kebenarannya, demikian pula sebaliknya jika alat indra itu sakit atau terganggu oleh sesuatu lebih-lebih jika kerjanya tidak baik maka kebenarannya tidak terjamin. Misalnya mata yang sedang menderita katarak atau orangnya sedang mengantuk, maka hasil pandangannya akan menjadi tidak jelas atau menjadi keliru. Demikian juga halnya indra lainnya.
Secara agamis sebenarnya Allah dapat juga menutupi alat indra manusia bahkan bisa melenyapkan kemampuan alat-alat indra tersebut, seperti yang disinggung dalam ayat-ayat berikut:
”Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat” (S.2 Al-Baqarah 7).
“Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu dan bila kegelapan menimpa mereka maka mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki pasti Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu” (S.2 Al-Baqarah 20).
Jika Allah menghendaki maka alat-alat indra itu dijadikan lemah tidak mampu menahan serangan penyakit lalu tumbuh kotoran atau hambatan-hambatan lain dan berkurang kemampuannya maka daya serap tidak bekerja dengan sempurna, sehingga hasilnya tidak tepat dan tidak benar. Jika pengetahuan seseorang tidak benar maka dia tidak mampu mencapai kebenaran tingkat di atasnya yaitu kebenaran ILMU.

b.         Ilmu (Science)
Ilmu ialah sesuatu yang diketahui oleh manusia hasil dari penyaksiannya melalui panca indra kemudian dikembangkan secara alamiah, yaitu dengan menerapkan penelitian sampai kepada pengujiannya sesuai dengan sistem yang tercakup dalam Ilmu Metodologi Penelitian Ilmiah.
Nilai dan batas kebenarannya akan sangat tergantung atas modal kebenaran pengetahuan hasil dari penyaksian oleh panca indra dan tata kerja pengembangannya dilakukan apakah tepat menurut aturan Ilmu Metodologi tersebut dengan benar dan sempurna apakah tidak. Jika dilakukannya semua itu dengan benar dan sempurna maka kebenarannya bisa diterima, tetapi bila pengetahuan dan penerapan pengembangannya tidak benar maka hasilnya pun kurang benar alias mengandung kesalahan.
Allah memberi contoh ilmu yang dapat diuji secara ilmiah dan kebenarannya terjamin ialah AL-QURAN, Allah berfirman dalam Al Quran (Bahasa Indonesianya):
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Jika seandainya Al-Quran itu bukan dari Allah pasti mereka akan menemukan di dalamnya pertentangan (kekeliruan) yang banyak” (S.4 An-Nisa’ 82).
“Ini adalah suatu Kitab yang Kami turunkan kepadamu ia penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan agar supaya mendapat (rahasia) pelajaranlah orang-orang yang mempunyai pikiran yang cerdik-cendekia” (S.38 Shad 29).

c.         Filsafat
Filsafat ialah hasil usaha mencari kebenaran dengan berpikir sedalam-dalamnya, dengan bebas, sistematis, radikal dan universal. Modal untuk berpikir tingkat filsafat juga berdasarkan pengetahuan dan ilmu seperti tersebut yang menjadi modal utamanya. Di samping itu filsafat bagaimanapun juga merupakan hasil usaha manusia, sedangkan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna tidak mungkin lepas dari sifat manusia yang selalu spekulatif-hipotetis. Artinya spekulatif ialah untung-untungan, jika untung ya benar tidak beruntung ya salah atau celaka. Hipotetis ialah benar untuk sekarang, lain waktu jika diketemukannya suatu teori baru yang lebih sempurna akan mendesak apa yang terjadi sebelumnya menjadi salah dan tidak benar.
Al-Quran benar-benar sangat mendorong agar manusia suka menggunakan panca indranya dengan benar dan berpikir yang benar (Lih. Al-Quran S.17 Al-Isra’ 36, S. 47 Muhammad 24). Al Quran juga mendorong berpikir filsafat seperti yang terfaham dari firman Allah berikut:
“Dan di dalam dirimu, apakah kamu tidak diperhatikan?” (s. 51 Adz-Zariyat 21).
Kandungan makna ayat ini sangat mirip dengan kata-kata mutiara yang terlukis di gapura suatu kuil di Yunani Kuno yang artinya: “Siapa mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya” yang juga terkenal dalam pepatah Arab.

d.         Wahyu
Wahyu ialah suatu ilmu yang diterima oleh nabi dalam dirinya dengan penuh keyakinan bahwa ilmunya ini datang dari Allah Ta’ala (Risalah Tauhid-Muhammad ‘Abduh). Dengan kata lain wahyu itu ilmunya Allah yang dianugerahkan kepada nabi. Karena Allah itu Maha Sempurna Maha Benar, maka wahyu itu bersifat benar dengan sempurna, lebih dari itu wahyu itu mutlak benarnya, tidak mengandung kekeliruan dan tidak salah. Jadi ilmu yang benar dengan mutlak ialah dari Allah:
“. . . sebagian di antara mereka ada yang menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-lagi kamu termasuk orang-orang yang ragu” (S.2 Al-Baqarah 147).

Ad.3. Fungsi dan kedudukan ilmu atau filsafat terhadap wahyu dan fungsi kedudukan wahyu terhadap ilmu atau filsafat.
Uraian di muka kiranya dapat memperjelas bahwa kebenaran itu bertingkat-tingkat, yang paling sederhana ialah pengetahuan lalu ilmu kemudian filsafat, yang tertinggi ialah wahyu.
Maka kedudukan wahyu merupakan yang paling tinggi, bertingkat-tingkat bahwa filsafat, ilmu dan pengetahuan sebagai yang terendah atau paling sederhana.
Adapun fungsi ilmu atau filsafat terhadap wahyu ialah bahwa ilmu atau filsafat bertugas untuk menjelaskan wahyu tersebut kepada siapa yang pikirannya dapat atau mampu menerima penjelasan itu sesuai dengan tingkat kecerdasannya, secara sederhana atau secara ilmiah ataukah secara filsafat. Dan wahyu harus dijelaskan dengan cara yang tidak bertentangan dengan akal yang sehat, supaya tidak muncul tafsiran yang aneh-aneh.
Tetapi karena akal merupakan makhluk yang tidak sempurna sehingga jika akal sudah tidak mampu menjangkau, dia harus berlindung kepada wahyu. Al Quran S.2 Al-Baqarah 185 menegaskan bahwa Al-Quran bertugas menjelaskan hidayah Tuhan dan sebagai pisau analisa yang membedakan yang benar dari yang salah.

1 komentar:

ITQON MARSUDI mengatakan...

Alhamdulillah..menelusuri batas kebenaran

Posting Komentar

Pengunjung Ke-

About Me

Template by KangNoval & Abdul Munir | blog Blogger Templates