I. QS. 10 Yunus 35-36:
II. Artinya:
“Katakanlah:
“Apakah di antara sesembahan-sesembahanmu (yang kamu sembah) itu ada yang
menunjukkan kepada kebenaran?” Katakanlah: “Allah-lah yang menunjukkan kepada
kebenaran”. Maka apakah Dia yang menunjukkan kepada kebenaran itu lebih berhak
diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali jika diberi
petunjuk?” Maka mengapakah kamu (berbuat demikian?) Bagaimanakah kamu mengambil
keputusan? Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti lain kecuali dugaan saja.
Sesungguhnya dugaan itu tidak mencukupi kebenaran apa-apa. Sungguh Allah Maha
Mengetahui apa-apa yang mereka kerjakan” (S.10 Yunus 35-36)
III. Tafsir
dan analisa
A. Pengertian kata-kata
_______
(Syuraka’) kata-kata jamak dari “syarik” artinya teman dalam memiliki sesuatu.
Syuraka’akum artinya ialah teman-temanmu, tetapi dalam ayat ini makna yang
dimaksud ialah: Sesuatu yang dipertemankan/disejajarkan/ disamakan dengan
Tuhan. Sesuai dengan S.7 Al-A’raf 195 atau S.10 Yunus 71 kata-kata “Syuraka”
maknanya ialah berhala atau sesuatu yang disembahkan selain Allah.
_______
(Yahdi) merupakan kata kerja dari “Hidayah” artinya memberi hidayah, yaitu
petunjuk secara halus.
_______
(Yahiddi) bunyi ini diperselisihkan oleh sebagian ahli qurra’ (ahli baca),
yaitu Al Kassai dan Hamzah membacanya berbunyi “Yahdi” maka kata-kata ini
diterangkan oleh An Nahhas bahwa lafal ini maksudnya ialah “Yahtadi” maknanya
ialah: memperoleh hidayah. Ar Raghib lebih keras lagi mengartikan kata-kata
“La-Yahiddi” itu persis seperti wataknya patung berhala walaupun diberi
petunjuk bagaimanapun juga dia tidak bisa menerima petunjuk sebab memang dia
batu.
Dan kata-kata
“La yahiddi” tidak lepas dari terusannya “Illa an yuhda” sehingga artinya
menjadi “Dia tidak dapat memberi petunjuk tetapi bahkan harus diberi petunjuk”.
B. Tema dan kandungan ayat
Allah itu
yang menciptakan makhluk dan kepada makhluk manusia Allah memberikan petunjuk
(hidayah) mulai dari insting (misalnya bayi lahir langsung mencari tetek
ibunya), lalu Allah memberi petunjuk berupa panca indra, kemudian akal untuk
berpikir, selanjutnya budi untuk merenung, terakhir Allah memberi hidayah
berupa wahyu (agama).
Coba
tanyakanlah kepada orang-orang musyrik (politeis) penyembah berhala atau makhluk
lain: “Apakah para berhala atau makhluk lain, hewan atau kuburan yang kamu
sembah itu bisa memberikan petunjuk dan hidayah kepada kebenaran seperti halnya
Allah telah memberi petunjuk-petunjuk tersebut?”
Tanyakan pula
kepada mereka: “Ajaran siapa yang harus diikuti dan dipercaya, apakah Tuhan
Dzat yang memberi petunjuk kepada kebenaran ataukah patung berhala dan kuburan
atau makhluk halus yang kamu sembah itu yang tidak dapat memberi petunjuk
tetapi memerlukan petunjuk bahkan jika diberi petunjuk diapun tidak dapat
berbuat apa-apa?
Sesungguhnya
lebih banyak orang yang hanya mengikuti dugaan-dugaan saja, padahal
dugaan-dugaan itu belum cukup menjamin kebenaran, Allah Maha Mengetahui
perbuatan manusia.
C. Masalah dan analisa
Dari tema dan
kandungan Al-Quran S.10 Yunus 35-36 diatas, timbul beberapa pertanyaan yang
perlu direnungkan, yaitu sebagai berikut:
1. Apakah yang disebut syirk dan siapakah
orang yang musyrik itu?
2. Apakah kebenaran itu dan bagaimanakah
kategori serta batas-batas kebenarannya?
3. Bagaimana kedudukan dan fungsi ilmu
atau filsafat terhadap wahyu demikian juga bagaimana kedudukan dan fungsi wahyu
terhadap ilmu atau filsafat?
Ketiga
masalah ini perlu direnungkan lebih mendalam untuk lebih memantapkan keyakinan
dan iman kita.
Ad.1. Persoalan
syirk dan musyrik
Al-Quran S.10
Yunus 35-36 menyinggung soal syirik dengan kata-kata “Syuraka’” jamak dari
“Syarik” (seperti tersebut di muka) artinya ialah sekutu atau teman. Tetapi
untuk menafsirkannya harus dikaitkan dengan ayat-ayat lain, diantaranya ialah
S.7 Al-A’raf 195, S.42 Syura 21, S. al-an’am 22 dan yang lain, sehingga kata
“Syuraka” disitu artinya ialah berhala atau sesembahan-sesembahan yang
disamakan/disejajarkan/disekutukan dengan Allah disembah dan disucikan.
Perbuatan
menyamakan sesuatu sama dengan Allah disebut “Syirk”, dan orang yang menyamakan
sesuatu sama dengan Allah disebut “Musyrik”.
Syirik itu
dalam pandangan agama ada dua macam, yaitu Syirk Besar ialah menyembah selain
Allah atau menyekutukan sesuatu dengan Allah sedangkan Syirk Ashghar (Syirk
kecil) ialah menyamakan sesuatu dengan sebagian sifat-sifat Allah, misalnya
seseorang berlaku sombong. Perbuatan sombong merupakan perbuatan syirk, sebab
dia menyamakan dirinya dengan sifat Allah yang Maha Besar. Rasulullah Saw. sendiri
telah menegaskan hal ini, seperti yang tersebut dalam hadis marfu’
Artinya:
“Tidak masuk
surga siapa yang di dalam hatinya terdapat perasaan sombong walaupun seberat
biji sawi” (Hadis dikutip oleh Ibnu Katsir j.5/391).
Ad.2.
Kebenaran, kategori dan batas-batas kebenaran.
Manusia
merupakan suatu makhluk pencari kebenaran, tetapi kebenaran yang bagaimanakah
yang dicari dan yang diperoleh manusia itu?
Ada tiga
teori tentang apa yang disebut dengan kebenaran, yaitu teori koherensi,
korespondensi dan pragmatis.
Teori
koherensi dikembangkan oleh Plato dan Aresto terutama dalam bidang ilmu ukur,
bahwa sesuatu itu benar jika dia konsisten atau sesuai dengan apa yang diakui
benar sebelum itu. Menurut Arestoteles kebenaran adalah persesuaian antara
pikiran dan kenyataan.
Teori
korespondensi dikembangkan oleh K. Rogers seorang penganut faham realisme dan
oleh Bertrand Russel bahwa sesuatu itu benar jika arti yang ada di dalamnya
berhubungan dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu sendiri.
Teori
pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce, John Dewey dan C.I. Lewis, bahwa
sesuatu itu benar jika dia mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan.
Adapun nilai
dan batas-batas kebenaran yang diterima oleh manusia oleh empat kategori,
yaitu:
a. Pengetahuan (Knowledge)
b. Ilmu (Science)
c. Filsafat
d. Wahyu
a. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan
ialah sesuatu yang diketahui oleh seseorang yang diperolehnya melalui panca
indra, melalui mata, telinga, hidung, lidah atau kulit.
Nilai dan
batas kebenarannya sangat tergantung pada alat indera tersebut dan kesempurnaan
kerjanya, jika alat indra tersebut dalam kondisi kesehatan yang sempurna dan
bekerja dengan sempurna pula maka hasil pencerapan indra itu akan lebih
menjamin kebenarannya, demikian pula sebaliknya jika alat indra itu sakit atau
terganggu oleh sesuatu lebih-lebih jika kerjanya tidak baik maka kebenarannya
tidak terjamin. Misalnya mata yang sedang menderita katarak atau orangnya
sedang mengantuk, maka hasil pandangannya akan menjadi tidak jelas atau menjadi
keliru. Demikian juga halnya indra lainnya.
Secara agamis
sebenarnya Allah dapat juga menutupi alat indra manusia bahkan bisa melenyapkan
kemampuan alat-alat indra tersebut, seperti yang disinggung dalam ayat-ayat
berikut:
”Allah telah
mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan
bagi mereka siksa yang amat berat” (S.2 Al-Baqarah 7).
“Hampir-hampir
kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka,
mereka berjalan di bawah sinar itu dan bila kegelapan menimpa mereka maka
mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki pasti Dia melenyapkan pendengaran
dan penglihatan mereka. Sungguh Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu” (S.2
Al-Baqarah 20).
Jika Allah
menghendaki maka alat-alat indra itu dijadikan lemah tidak mampu menahan
serangan penyakit lalu tumbuh kotoran atau hambatan-hambatan lain dan berkurang
kemampuannya maka daya serap tidak bekerja dengan sempurna, sehingga hasilnya
tidak tepat dan tidak benar. Jika pengetahuan seseorang tidak benar maka dia
tidak mampu mencapai kebenaran tingkat di atasnya yaitu kebenaran ILMU.
b. Ilmu (Science)
Ilmu ialah
sesuatu yang diketahui oleh manusia hasil dari penyaksiannya melalui panca
indra kemudian dikembangkan secara alamiah, yaitu dengan menerapkan penelitian
sampai kepada pengujiannya sesuai dengan sistem yang tercakup dalam Ilmu
Metodologi Penelitian Ilmiah.
Nilai dan
batas kebenarannya akan sangat tergantung atas modal kebenaran pengetahuan
hasil dari penyaksian oleh panca indra dan tata kerja pengembangannya dilakukan
apakah tepat menurut aturan Ilmu Metodologi tersebut dengan benar dan sempurna
apakah tidak. Jika dilakukannya semua itu dengan benar dan sempurna maka
kebenarannya bisa diterima, tetapi bila pengetahuan dan penerapan
pengembangannya tidak benar maka hasilnya pun kurang benar alias mengandung
kesalahan.
Allah memberi
contoh ilmu yang dapat diuji secara ilmiah dan kebenarannya terjamin ialah
AL-QURAN, Allah berfirman dalam Al Quran (Bahasa Indonesianya):
“Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Jika seandainya Al-Quran itu bukan dari
Allah pasti mereka akan menemukan di dalamnya pertentangan (kekeliruan) yang
banyak” (S.4 An-Nisa’ 82).
“Ini adalah
suatu Kitab yang Kami turunkan kepadamu ia penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan agar supaya mendapat (rahasia) pelajaranlah
orang-orang yang mempunyai pikiran yang cerdik-cendekia” (S.38 Shad 29).
c. Filsafat
Filsafat
ialah hasil usaha mencari kebenaran dengan berpikir sedalam-dalamnya, dengan
bebas, sistematis, radikal dan universal. Modal untuk berpikir tingkat filsafat
juga berdasarkan pengetahuan dan ilmu seperti tersebut yang menjadi modal
utamanya. Di samping itu filsafat bagaimanapun juga merupakan hasil usaha
manusia, sedangkan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna tidak mungkin
lepas dari sifat manusia yang selalu spekulatif-hipotetis. Artinya spekulatif
ialah untung-untungan, jika untung ya benar tidak beruntung ya salah atau
celaka. Hipotetis ialah benar untuk sekarang, lain waktu jika diketemukannya
suatu teori baru yang lebih sempurna akan mendesak apa yang terjadi sebelumnya
menjadi salah dan tidak benar.
Al-Quran
benar-benar sangat mendorong agar manusia suka menggunakan panca indranya
dengan benar dan berpikir yang benar (Lih. Al-Quran S.17 Al-Isra’ 36, S. 47
Muhammad 24). Al Quran juga mendorong berpikir filsafat seperti yang terfaham
dari firman Allah berikut:
“Dan di dalam
dirimu, apakah kamu tidak diperhatikan?” (s. 51 Adz-Zariyat 21).
Kandungan
makna ayat ini sangat mirip dengan kata-kata mutiara yang terlukis di gapura
suatu kuil di Yunani Kuno yang artinya: “Siapa mengenal dirinya akan mengenal
Tuhannya” yang juga terkenal dalam pepatah Arab.
d. Wahyu
Wahyu ialah
suatu ilmu yang diterima oleh nabi dalam dirinya dengan penuh keyakinan bahwa
ilmunya ini datang dari Allah Ta’ala (Risalah Tauhid-Muhammad ‘Abduh). Dengan
kata lain wahyu itu ilmunya Allah yang dianugerahkan kepada nabi. Karena Allah
itu Maha Sempurna Maha Benar, maka wahyu itu bersifat benar dengan sempurna,
lebih dari itu wahyu itu mutlak benarnya, tidak mengandung kekeliruan dan tidak
salah. Jadi ilmu yang benar dengan mutlak ialah dari Allah:
“. . .
sebagian di antara mereka ada yang menyembunyikan kebenaran, padahal mereka
mengetahui. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-lagi
kamu termasuk orang-orang yang ragu” (S.2 Al-Baqarah 147).
Ad.3. Fungsi
dan kedudukan ilmu atau filsafat terhadap wahyu dan fungsi kedudukan wahyu
terhadap ilmu atau filsafat.
Uraian di
muka kiranya dapat memperjelas bahwa kebenaran itu bertingkat-tingkat, yang
paling sederhana ialah pengetahuan lalu ilmu kemudian filsafat, yang tertinggi
ialah wahyu.
Maka
kedudukan wahyu merupakan yang paling tinggi, bertingkat-tingkat bahwa
filsafat, ilmu dan pengetahuan sebagai yang terendah atau paling sederhana.
Adapun fungsi
ilmu atau filsafat terhadap wahyu ialah bahwa ilmu atau filsafat bertugas untuk
menjelaskan wahyu tersebut kepada siapa yang pikirannya dapat atau mampu
menerima penjelasan itu sesuai dengan tingkat kecerdasannya, secara sederhana
atau secara ilmiah ataukah secara filsafat. Dan wahyu harus dijelaskan dengan
cara yang tidak bertentangan dengan akal yang sehat, supaya tidak muncul
tafsiran yang aneh-aneh.
Tetapi karena akal merupakan makhluk
yang tidak sempurna sehingga jika akal sudah tidak mampu menjangkau, dia harus
berlindung kepada wahyu. Al Quran S.2 Al-Baqarah 185 menegaskan bahwa Al-Quran
bertugas menjelaskan hidayah Tuhan dan sebagai pisau analisa yang membedakan
yang benar dari yang salah.
1 komentar:
Alhamdulillah..menelusuri batas kebenaran
Posting Komentar