Selasa, 09 Juni 2009

Jalan Raya ke Surga

Kita semua dan seluruh umat manusia yang hidup di dunia ini mau tidak mau harus mempertahankan diri untuk hidup dan hidup terus, hidup yang lebih baik, hidup yang selamat, hidup yang sejahtera bahkan nikmat bahagia.
Sejak dahulu kala hampir semua orang menyatakan bahwa hidup yang baik itu ialah hidup yang menyenangkan, bahkan sangat menyenangkan karena hidup terasa nikmat. MPR tahun 70-an dalam beberapa TAP-nya memutuskan bahwa yang dimaksud dengan Pembangunan itu ialah mengubah keadaan yang jelek menjadi baik, keadaan sekarang lebih baik dari pada kemarin dan selanjutnya menjadi hidup yang lebih baik lagi dan seimbang kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dari perkembangan pikiran dan polemik tentang apa yang dinamakan baik, maka menurut aliran pendapat yang lebih dominan ialah bahwa apa yang disebut baik itu ialah sesuatu yang membawa kelezatan dan kenikmatan yang paling tinggi, lahir-batin, yang dirasakan bersama-sama oleh jumlah orang yang sebanyak mungkin (The greatest happines of the greatest number). Pendapat ini didukung oleh kaum filosuf mulai dari Epicuros Yunani sampai Jeremy Bentam (1832M) bahkan oleh ahli pikir Mu’tazilah sampai Muhammad ‘Abduh (`1905M).
Prof.Harun dalam bukunya Akal dan Wahyu (1986:78) juga Muh.’Abduh dalam Risalatut Tauhid (1965:101), mencatat bahwa Ibnu Abi Hasyim seorang tokoh rasionalis Mu’tazilah menyatakan bahwa dengan akal melulu manusia tidak mampu mengetahui perbuatan yang mana yang baik itu secara rinci sekecil-kecilnya, untuk ini akal harus berlindung ke bawah Ilmu Allah, yaitu wahyu. Maka menurut Imam Al-Ghazali yang disebut baik itu ialah ikut saja kepada Allah, yang disebut baik ialah apa yang dinamakan baik oleh Allah, yang jelek ialah yang dinilai jelek oleh Allah.
@ Catatan ulama tafsir
~ Tafsir Ath-Thabari (1h101) mencatat bahwa (Shirathal Mustaqim) jalan lurus dimaksud dalam S.1 Al-Fatihah 6-7 di atas ini ialah taufiq dan hidayah, jalan yang benar sesuai dengan nikmat yang diterima oleh para nabi, orang-orang siddiq dan para syuhada`, berpegang teguh kitab Allah yang sudah dirinci oleh Rasul Saw, para khalifah 4 dan para ulama mujtahidin. Sedangkan yang dinanamakan Shirathal Mustaqim itu ialah jalan ke surga. Bukan jalannya orang yang dimurkai Allah bukan jalan orang yang sesat.
~ Tafsir Ibnu Katsir (1h52) dan Tafsir Al-Qurthubi (1h193) menjelaskan bahwa jalan yang dimaksud itu ialah jalannya orang yang diberi nikmat oleh Allah yang disinggung dalam Al-Quran (s4a66-69) bukan jalannya kaum Yahudi-Nasrani.
Maka yang paling baik itu ialah sesuatu yang memberi kenikamatan yang tertinggi lahir batin, yang dinikmati oleh orang yang semua orang, untuk segala jaman bahkan dunia sampai akhirat. Sehingga nikmat yang sangat ideal tidak lain kecuali hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Bahkan yang paling tinggi ialah kenikmatan yang diatas segala-galanya ialah nikmat bahagia akhirat yaitu surga, Jannatun Na’im.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Ke-

About Me

Template by KangNoval & Abdul Munir | blog Blogger Templates