Enison Sinaro,
seorang teman sutradara mengirimkan sebuah foto heroik, yang diambil poster di
lorong lorong gedung Kuala Lumpur International Film Festival. Bung Karno
sedang berteriak menggayang Malaysia. Entah kenapa poster itu dipasang disana.
Yang jelas ingatan saya langsung menuju pada tahun tahun termasuk salah satu
pidato Bung Karno pada pada masa itu, “ Vivere Pericoloso “. Artinya berani
nyerempet bahaya.
Saya berpikir
tahun 2009 harus berani juga menyerempet bahaya. Tentu saja bukan ujung
ujungnya mati konyol. Perhitungan dan untung rugi harus dipikirkan. Krisis
keuangan global, membuat principle pemilik produk mengetatkan budgeting
korporasinya. Salah satu yang paling cepat dilakukan adalah memangkas anggaran
promosi. Berarti orang orang seperti saya paling depan dikorbankan.
Beruntung
tahun 2009 adalah tahun pemilu. Banyak kesempatan disana, karena banyak
politikus bodoh atau pintar yang butuh orang orang seperti saya untuk memoles
citra melalu iklan, komunikasi kampanye atau strategi lainnya. Untungnya juga
mereka mungkin tidak pernah membaca blog ini. Bagaimana saya mencibirkan dunia
sandiwara politik di negeri ini.
Tidak hanya calon presiden, calon calon anggota DPR atau DPD pun sudah berancang ancang membuat iklan citra dirinya di televisi daerah. Terlebih mereka sepertinya tidak terkena imbas krisis. Entah dari mana datang uangnya.
Dana kampanye ini sangat luar biasa dan bisa menyumbang geliat roda ekonomi, dari cetak sablon kaos, poster, bikin film iklan sampai dana taktis lainnya. Kecuali Soetrisno Bahchir yang sudah menyerah – karena sahamnya di Bumi Resources jeblok - , kandidat lainnya tampaknya akan menggenjot sektor promosi ini.
Partai Gerindra selain menggencarkan iklan kampanyenya, juga membiayai milyaran rupiah syuting layar lebar dengan memakai sutradara asal Hollywood. Kelak kita akan melihat film layar lebar sebagai pendekatan kampanye.
Tidak hanya calon presiden, calon calon anggota DPR atau DPD pun sudah berancang ancang membuat iklan citra dirinya di televisi daerah. Terlebih mereka sepertinya tidak terkena imbas krisis. Entah dari mana datang uangnya.
Dana kampanye ini sangat luar biasa dan bisa menyumbang geliat roda ekonomi, dari cetak sablon kaos, poster, bikin film iklan sampai dana taktis lainnya. Kecuali Soetrisno Bahchir yang sudah menyerah – karena sahamnya di Bumi Resources jeblok - , kandidat lainnya tampaknya akan menggenjot sektor promosi ini.
Partai Gerindra selain menggencarkan iklan kampanyenya, juga membiayai milyaran rupiah syuting layar lebar dengan memakai sutradara asal Hollywood. Kelak kita akan melihat film layar lebar sebagai pendekatan kampanye.
Jika ada
bertanya apakah mungkin pemikiran saya akan terkooptasi dengan mengerjakan
proyek proyek politik. Tentu saja tidak. Yang berbahaya adalah seolah saya
menjadi saksi untuk mengamini betapa menyedihkan melihat negeri ini yang
percaya bahwa pemimpin dapat dibentuk dari iklan iklan. Bukan dari integritas,
kerja keras dan komitmen keberpihakan pada rakyat.
Tapi tak
perlu dipikirkan, karena tahun 2009 akan melahirkan sejarah kecil – petite historie –
bangsa Indonesia. Seluruh kandidat merasa akan menang, dan menggunakan segala
akal daya untuk kepentingan ini. Presiden, wapres, menteri menteri akan lebih
sibuk mengurusi kampanye daripada mengurusi bagaimana mengantisipasi banjir,
kelangkaan bahan bakar atau urusan urusan hajat hidup orang banyak. Ketua PPP
berani nyerempet bahaya sebagai menteri kabinet tapi lebih sering merapat ke
kubu Megawati.
SBY lebih
mementingkan merubah kartu wartawan di lingkungan istana berubah menjadi warna
biru, demikian pula baret pasukan pengawal Presiden diubah menjadi biru, dari
merah hati sebelumnya. Lalu PKS lebih berani lagi menyerempet bahaya, dengan
menampilkan Soeharto sebagai salah satu pahlawan dalam iklannya. Tentu beresiko
ditinggalkan pemilih fanatiknya yang mengalami represi dalam masa orde baru.